Rabu, 29 April 2020

Pendekatan, Metode, Teknik Ilmu Bantu, dan Jenis Penelitian

Wawan Setiawan Tirta
Pendekatan, Metode, Teknik Ilmu Bantu, dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam antropologi menggunakan pendekatan kuantitatif (positivistik) dan kualitatif (naturalistik). Artinya dalam penelitian antropologi dapat dilakukan melalui pengkajian secara statistik-matematis baik dilakukan untuk mengukur pengaruh maupun korelasi antar variabel penelitian, maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik.
 Pendekatan yang dipakai dalam antropologi menggunakan pendekatan kuantitatif  Pendekatan, Metode, Teknik Ilmu Bantu, dan Jenis Penelitian

Selain dikenal pendekatan positivistik dan naturalistik, menurut Kapplan dan Manners (1999: 6) dalam antropologi juga dikenal pendekatan relativistik dan komparatif. Pendekatan relativistik memandang bahwa setiap kebudayaan merupakan konfigurasi unik yang memiliki cita rasa khas dan gaya serta kemampuan tersendiri. Keunikan ini sering dinyatakan dukungan maupun tanpa dukungan bukti serta tidak banyak upaya membahas atau menjelaskannya. Memang dalam pengertian tertentu, setiap budaya itu unik, persis sebagaimana uniknya individu, tiap helai rambut, dan tiap atom di alam semesta tidak sama. Akan tetapi bagaimana kita pernah mengetahuinya jika tidak lebih dulu membandingkan suatu budaya dengan budaya lain? Keberadaan tersebut kadarnya bermacam-macam. Andai kata suatu fenomena sepenuhnya unik, kita mustahil akan memahaminya. Karena kita mampu memahami suatu fenomen, hanya dengan memahami bahwa ia mengandung beberapa kemiripan tertentu dengan hal-hal yang telah  kita kenal sebelumnya. Di sini kaum relativis menyatakan bahwa suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya sebagai “dirinya sendiri”.

Sedangkan kaum komparativis berpendapat bahwa suatu institusi, proses, kompleks atau ihwal sesuatu hal, haruslah terlebih dahulu dicopot dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga bisa dibandingkan dengan institusi, proses, kompleks, atau ikhwal-ikhwal dalam konteks sosiokultural lain. Adanya relativitas yang ekstrem, berangkat dari anggapan-anggapan bahwa tiada dua budaya pun yang sama; bahwa pola, tatanan dan makna akan “dipaksakan” jika elemen-elemen diabstrasikan demi perbandingan. Oleh karenanya pembandingan bagian-bagian yang telah diabstrasikan dari suatu keutuhan, tidaklah bisa dipertahankan secara analitis.

Namun karena pemahaman tentang ketidaksamaan itu bersumber dari perbandingan, maka tidak bisa kita katakan bahwa pendekatan relativistik itu tidak memiliki titik temu dengan pendekatan komparatif. Tik temu kedua tersebut terletak pada pasal tidak diijinkannya “pemaksaan”. Terutama soal-soal yang berkaitan dengan ideologi, minat dan tekanan yang menimbulkan keragaman pendekatan metodologis itu. Sebab komparatif dan relativis sama-sama mengetahui bahwa tidak ada dua budaya pun yang sama persis. Sungguh pun demikian, mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut paling tidak du hal penting; (1) walaupun para komparativis mengakui bahwa semua bagian suatu budaya niscaya ada unsur perbedaannya, namun mereka percaa dan menekankan pada unsur persamaannya, yang saling kait-mengait secara fungsional; (2) sebaliknya kaum relativis sangat menekankan masalah-masalah perbedaan dibandingkan komparativis (Kapplan dan Manners, 1999: 6-8).

Adapun metode penelitiannya dapat digunakan metode-metode penelitian
  1. Deskriptif
  2. Komparasi
  3. Studi kasus
  4. Etnografis
  5. Survey
Dari sini penulis akan memfokuskan metode penelitian komparatif secara rinci, karena merupakan ciri khas dalam penelitian antropologi. Metode komparatif antropologi adalah metode penelitian yang mencabut unsur-unsur kebudayaan dari konteks masyarakat yang hidup untuk satuan bandingannya dengan sebanyak mungkin unsur-unsur dan aspek suatu kebudayaan. Dalam penggunaan metode ini didefinisikan persamaan-persamaan dan perbedaannya secara mendalam. Menurut Gopala sarana (1975) dalam ilmu antropologi sedikitnya ada empat macam penelitian komparatif, yakni;
  1. Penelitian komparatif dalam tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial,
  2. Penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan,
  3. Penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan, dan
  4. Penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar pranata, dan gejala kebudayaan guna membuat generalisasi-generalisasi mengenai tingkah laku manusia pada umumnya.
Untuk penelitian komparatif jenis pertama ini banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh seperti; Herbert Spencer, J. J. Bachoven, G. A. Wilken, L. H. Morgan, E. B. Tylor, J. G. Frazer, F. F. Graebner, dan W. Schmidt, dll. Dalam penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan secara inferensial itu perlu diperhatikan hal-hal yang menjadi satuan banding bagi para ahli antropologi. Dengan menggunakan kerangka kebudayaan, kita bisa membuat penggolongan atas hal-hal itu (Koentjaraningrat, 1990: 4). Kerangka kebudayaan itu merupakan kembinasi dari ketiga wujud kebudayaan dan ketujuh unsur kebudayaan universal yang disusun dalam suatu bagan lingkaran atau matriks.

Penelitian komparatif jenis kedua (proses perubahan kebudayaan) pada dasarnya terbagi atas dua bagian, yakni metode komparatif diakronik dan sinkronik. Pengertian metode komparatif diakronik di lapangan terjadi apabila seseorang peneliti mengumpulkan data etnografi dalam suatu komunitas pada saat tertentu, dan diulang beberapa tahun kemudian pada kunitas yang sama. Perbandingan keadaan kebudayaan dalam komunitas bersangkutan pada waktu yang berlainan itu bisa memberi gambaran kepadanya mengenai proses perubahan kebudayaan yang terjadi dalam waktu antara pengumpulan data yang pertama dan yang kedua. Sedangkan metode komparatif sinkronik, apabila seseorang peneliti mengumpulkan data etnografi dalam dua komunitas dengan latar belakang kebudayaan etnik yang sama, tetapi komunitas yang satu keadaanya relatif terisolasi dan tertutup, sedangkan komunitas lainnya keadaannya lebih terbuka atau orbiditas. Kedua penelitian ini dilakukan dalam waktu yang sama atau tanpa interval waktu yang lama (Koentjaraningrat, 1995: 4).

Berbeda dengan penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan, maka hampir semua ahli antropologi yang menganut konsepsi evolusi kebudayaan, pada hakikatnya juga melakukan taxonomi atau klasifikasi. Mengapa begitu, sebab beragamnya kebudayaan di dunia ini kemudian mereka klasifikasikan ke dalam golongan-golongan yang mereka sebut tingkat-tingkat evolusi. Tingkat-tingkat evolusi itu selanjutnya mereka susun menurut sesuatu cara tata urut kronologi, dengan menempatkan kebudayaan yang tampaknya paling primitif dalam zaman sesudah itu, dan akhirnya kebudayaan yang tampaknya paling maju dan tinggi dikelompokkan di zaman yang paling muda (Koentjaraningrat, 1995: 10).

Berbeda dengan penelitian komparatif untuk menguji korelasi dan memantapkan generalisasi. Penelitian ini secara umum terbagi dua kelompok, yakni;
  1. Penelitian komparatif model E. B. Tylor,
  2. Penelitian komparatif Cross-cultural.
Penelitian komparatif model E. B. Tylor, pada hakikatnya untuk menguji korelasi-korelasi antara unsur-unsur kebudayaan, yang kemudian digunakan untuk memantapkan generalisasi-generalisas dalam kaitannya dengan korelasi unsur-unsur itu. Sejak zaman E. B. Tylor perintis antropologi ini sudah menggunakan metode itu terutama untuk memantapkan konsepsinya mengenai proses evolusi dari tingkat masyarakat yang matriarchate ke tingkat masyarakat patriarchate. Caranya dengan menghitung jumlah korelasi atau “adhesions” yang ada antara ada istiadat caude dengan awal dari proses evolusi itu dalam 300 masyarakat yang tersebar luas di dunia (Koentjaraningrat, 1983: 51-52).

Sedangkan penelitian komparatif cross-cultural, khususnya di AS contohnya apa yang dilakukan oleh antropolog L. T. Hobhouse, G. C. Wheller, M. Ginsberg. Tiga peneliti antropologi itu dalam risetnya meneliti sekitar 600 masyarakat yang tersebar luas di dunia, dengan jalan mengkorelasikan mata pencaharian dengan organisasi sosial, yang secara khusus dirinci dalam pranata-pranata, kekerabatan, pemerintahan, hukum dan keadilan, hak milik, pelapisan sosial, kanibalisme, dan sebagainya. Berdasarkan korelasi-korelasi itu, ketiga ahli itu menggolong-golongkan ke 600 masyarakat itu ke dalam tujuh tingkat berdasarkan dua macam mata pencaharian yakni masyarakat berburu rendah dan masyarakat berburu tinggi yang bisa berevolusi ke dua arah. Salah satu arah evolusi adalah ke suatu masyarakat bercocok tanam I, masyarakat bercocok tanam II, dan masyarakat bercocok tanam III, sedangkan arah evolusi ke masyarakat berternak I dan II.

Kemudian penelitian komparatif cross-cultural itu lebih sungguh-sungguh terutama setelah dilakukan oleh G. P. Murdock (1907-1985). Beliau pernah diminta oleh Angkatan Laut USA untuk memberi keterangan mengenai masyarakat dan kebudayaan penduduk Kepulauan Mikronesia dan kemudian Kepulauan Okinawa, yang setelah mereka rebut, akan mereka jadikan basis untuk menyerang Jepang. Selain itu sumbangan penelitian Murdock yang paling berharga adalah seperti yang tercantum dalam bukunya yang berjudul “World Distribution of Theories of Illenss” tahun 1978 dan buku lainnya “Theories of Illens (1980: 50-51). Hasil penelitian bahwa Murdock menemukan bahwa ke 186 kebudayaan di dalam simpelnya yang terbagi dalam enam daerah geografi, mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap sumber “rasa tidak sehat”. Pada umumnya mereka beranggapan rasa itu ditimbulkan oleh sebab-sebab alamiah (infeksi, stress, menjadi tua, dan kecelakaan), kemudian sebab-sebab supranatural; seperti nasib, tanda-tanda gaib, sentuhan benda najis, melanggar pantangan, serangan roh jahat, guna-guna dan sihir. Untuk peristiwa rasa tidak sehat yang disebabkan oleh pelanggaran perilaku pantangan, misalnya banyak terjadi pada kebudayaan di selatan Gurun Sahara. Sebaliknya rasa tidak sehat yang disebabkan oleh memakan pantangan-pantangan banyak terjadi di Amerika Selatan. Begitu juga rasa tidak sehat yang disebabkan oleh sihir, banyak dikeluhkan oleh masyarakat Eropa Selatan, Afrika Utara, dan Asia Barat Daya. Rasa tidak sehat akibat serangan roh jahat paling banyak dikeluhkan di Kepulauan Pasifik. Akhirnya Murdock juga membuat korelasi-korelasi, misalnya rasa tidak sehat akibat serangan roh jahat, mempunyai korelasi yang tinggi dengan mata pencaharian peternakan.

Kemudian jika dilihat dari beberapa ilmu yang merupakan bagian dalam ilmu antropologi menurut Koentjaraningrat (1981: 13) mencakup 5 disiplin ilmu, antara lain: Paleo-antropologi, antropologi fisik, etnolinguistik, prehistori, da etnologi.

Paleo-antropologi, merupakan ilmu tentang asal-usul atau soal terjadinya dan evolusi makhluk manusia dengan mempergunakan bahan penelitian melalui sisa-sisa tubuh yang telah membatu, atau fosil-fosil manusia dari zaman ke zaman yang tersimpan dalam lapisan bumi dan di dapat dengan berbagai penggalian.

Antropologi fisik, merupakan bagian ilmu antropologi yang mempelajari suatu pengertian tentang sejarah terjadinya aneka warna makhluk hidup manusia jika dipandang dari sudut ciri-ciri tubuhnya, baik lahir (fenotipik) seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, indeks tengkorak, bentuk muka, warna mata, bentuk hidung, tinggi badan, dan bentuk tubuh, maupun yang dalam (genotipik), seperti golongan darah, dan lain sebagainya. Manusia di muka bumi ini terdapat beberapa golongan berdasarkan persamaan mengenai beberapa ciri tubuh. Pengelompokan seperti itu dalam ilmu antropologi disebut “ras”.

Etnolinguistik atau antropologi linguistik, adalah suatu ilmu yang bertalian dengan erat dengan ilmu antropologi, dengan berbagai metode analisis kebudayaan yang berupa daftar kata-kata, pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dari beratus-ratus bahasa suku bangsa yang tersebar di berbagai tempat di muka bumi ini. Dari bahan ini telah berkembang ke berbagai macam metode analisis kebudayaan, serta berbagai metode untuk menganalisis dan mencatat bahasa-bahasa yang tidak mengenal tulisan. Semua bahan dan metode itu sekarang telah terolah juga ilmu linguistik umum. Tetapi walaupun demikian ilmu etnolinguistik di berbagai pusat ilmiah di dunia masih tetap juga erat bertalian dengan ilmu antropologi, bahkan merupakan bagian dari ilmu antropologi.

Prehistori, merupakan ilmu tentang perkembangan dan penyebaran semua kebudayaan manusia sejak sebelum manusia mengenal tulisan atau huruf. Dalam ilmu sejarah, seluruh waktu dari perkembangan kebudayaan umat manusia mulai saat terjadinya makhluk manusia, yakni kira-kira 800.000 tahun yang lalu hingga sekarang, dibagi menjadi dua bagian, yakni; (1) masa sebelum mengenal tulisan atau huruf, (2) masa setelah manusia mengenal tulisan atau huruf. Sub ilmu prehistori ini sering disebut ilmu arkeologi. Di sini ilmu arkeologi sebenarnya adalah sejarah kebudayaan dari zaman prehistori.

Etnologi, merupakan bagian ilmu antropologi tentang azaz-azaz manusia, mempelajari kebudayaan-kebudayaan dalam kehidupan masyarakat dari bangsa-bangsa tertentu yang tersebar di muka bumi ini pada masa sekarang. Belakangan ini sub  ilmu etnologi telah berkembang menjadi dua aliran.
  • Aliran pertama, yang menekankan pada penelitian diakronik disebut descriptive integration.
  • Aliran kedua, yang menekankan penelitian sinkronik dinamakan penelitian generalizing approach (Koentjaraningrat, 1983: 16).
Sebagai contoh hubungan geologi dengan antropologi, karena geologi mempelajari ciri-ciri lapisan bumi serta perubahan-perubahannya, terutama dibutuhkan oleh sub ilmu paleoantropologi dan prehistori terutama untuk menetapkan umur atau usia dari fosil-fosil makhluk primat dan fosil-fosil manusia dari zaman ke zaman. Begitu juga tentang usia artefak-artefak dan bekas-bekas budaya yang digali dalam lapisan bumi itu. Hal ini akan mudah tertolong oleh bantuan ilmu geologi melalui metode-metode kerjanya.

Peranan ilmu paleontologi dalam antropologi adalah mampu memberikan gambaran untuk membuat rekonstruksi tentang proses evolusi bentuk-bentuk makhluk dari dahulu hingga sekarang. Kemudian peranan ilmu anatomi dalam antropologi adalah untuk pemaham tentang ciri-ciri dari berbagai kerangka manusia, berbagai bagian tengkorak, dan ciri-ciri bagian tubuh lainnya menjadi obyek penelitian ini khususnya bagi antropologi fisik.

Peranan ilmu kesehatan masyarakat dalam antropologi adalah memberikan pemahaman tentang sikap penduduk yang ditelitinya tentang kesehatan, tentang sakit, pengobatan tradisional, terhadap pantangan-pantangan kebiasaan dan makanan dan sebagainya. Kemudian peranan ilmu psikiatri dalam antropologi merupakan suatu pengulasan dari hubungan antara ilmu antropologi dan psikologi, yang kemudian mendapat fungsi praktis setelah memahami tingkah laku manusia dengan segala latar belakang dan proses-proses mentalnya. Begitu pula peranan ilmu linguistik dalam antropologi memiliki kontribusi besar dalam mengembangkan konsep-konsep dan metode-metode untuk mengupas segala macam bentuk bahasa dan asalnya. Demikian juga dapat dicapai suatu pengertian tentang ciri-ciri dasar dari tiap bahas di dunia secara cepat dan mudah dipahami (Koentjaraningrat, 1983: 33).

Peranan ilmu sejarah dalam antropologi, memiliki arti penting dalam memberi gambaran, latar belakang tentang kehidupan masa lalu sebagai mana dilukiskan dalam berbagai peninggalan, seperti; dokumen, prasasti, naskah tradisional, arsip kuno, dan lain sebagainya. Para antropolog memerlukan sejarah terutama sejarah dari suku-suku bangsa yang ditelitinya. Selain itu juga untuk memecahkan persoalan-persoalan alkulturasi, difusi yang bersifat eksternal. Sedangkan peranan geografi dalam antropologi adalah memberikan deskripsi tentang bumi serta ciri-ciri iklim dan lingkungan fisik lainnya yang mempengaruhi fisik dan kebudayaan masyarakatnya. Lain lagi dengan peranan ilmu ekonomi dalam peranannya terhadap antropologi adalah memberikan gambaran aktivitas kehidupan ekonominya yang sangat dipengaruhi sistem kemasyarakatannya, untuk bahan komparatif tentang berbagai hal misalnya sikap kerja terhadap kekayaan, sistem gotong-royong, kebiasaan menghadapi musim paceklik, dll. Begitu juga peranan ilmu hukum adat bagi antropologi, bisa memberikan jawaban tentang masalah-masalah hidup yang bersifat perdata, sosial kontrol, dan pengendalian sosial lainnya yang menggambarkan keteraturan hidup masyarakat yang ditelitinya. Bagi ilmu politik, peranannya dalam antropologi adalah untuk memahami kekuatan-kekuatan, wewenang, distribusi, serta proses-proses politik dalam segala macam sistem pemerintahan mereka.

Kemudian jika ditelaah dari macam-macam penelitian, dalam antropologi dikenal beberapa bentuk penelitian seperti;
  • Penelitian descriptive integration,
  • Penelitian generalizing approach,
  • Penelitian komparatif. Untuk penelitian komparatif ini menurut Gopala Sarana (1975) dalam antropologi terbagi-bagi lagi menjadi 4 macam yakni; (a) penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial, (b) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan, (c) penelitian komparatif untuk taksonomi kebudayaan dan (d) penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar pranata, dan antar gejala kebudayaan, guna membuat generalisasi-generalisasi mengenai tingkah laku manusia pada umumnya.
Referensi;
Kapplan dan Manners, 1999, Teori Budaya, Terjemahan Landung Simatupang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat,1981, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta.
Koentjaraningrat, 1990, Sejarah Teori Antropologi, Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Murdock, G. P., 1978, World Distribution of Theories of Illness, dalam Ethology, xvii.
Murdock, G. P., 1980, Theories of Illness a Cross-Cultural Studi, New Haven: Yale University Press.

*Rajinlah belajar demi Bangsa dan Negara, serta jagalah kesehatanmu!
*Semoga anda sukses!